BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Risiko pada perubahan suku bunga memiliki pengaruh
besar bagi suatu perusahaan. Naik dan turunnya suku bunga secara tidak stabil
memiliki efek bagi setiap keputusan baik yang bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang. Oleh karena itu, penciptaan pada suatu kestabilan suku bunga
merupakan harapan dan dambaan bagi banyak pebisnis. Dalam bab ini kita akan
membahas tentang risiko suku bunga dan berbagai sebab yang bisa
melatarbelakanginya serta sejauh mana pengaruh tersebut timbul dalam bentuk
turut mempengaruhi bidang lainnya.
Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa/i mampu
memahami dengan baik tentang :
1. Risiko
suku bunga dari berbagai perspetif
2. Hubungan
risiko suku bunga dan obligasi
3. Pengaruh
suku bunga dengan kebijakan penawaran uang
4. Berbagai
bentuk pernyataan yang diberikan serta mampu menyelesaikan kasus yang ada,
hingga memberikan solusinya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
defenisi risiko suku bunga ?
2. Jelaskan
bagaimana risiko suku bunga itu bisa terjadi!
3. Jelaskan
bagaimana bentuk risiko yang terjadi pada pemegang obligasi ?
4. Apa
saja faktor yang menyebabkan perubahaan pada suku bunga domestik?
C. Tujuan
1.
Mengetahui defenisi
risiko suku bunga.
2.
Mengetahui bagaimana
risiko suku bunga itu bisa terjadi.
3.
Mengetahui bagaimana
bentuk risiko yang terjadi pada pemegang obligasi.
4. Mengetahui
faktor yang menyebabkan perubahaan pada suku bunga domestik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Defenisi
risiko suku bunga
Risiko suku bunga adalah risiko yang
dialami akibat dari perubahan suku bunga yang terjadi di pasaran yang mampu
memberi pengaruh bagi pendapatan perusahaan. Adapun pengertian risiko suku
bunga menurut Mashud Ali adalah terjadi sebagai akibat dari terdapatnya mismatched atas maturities pada interest rate related products di sisi
aktiva dan passiva neraca bank.
2.
Risiko
pada situasi suku bunga dan saham
Pada saat seorang memutuskan untuk
menempatkan dananya di bank dalam bentuk time
deposit (deposito) maka artinya ia sudah melihat sisi keuntungan dan
kenyamanan, terutama jika ia membandingkan berinvestasi di tempat lain seperti
membeli saham. Kondisi pasar saham yang berfluktuasi menyebabkan tingkat risiko
memiliki posisi tersendiri, tingkat return
yang diharapkan juga penuh dengan kondisi yang berfluktuasi, dengan kata
lain jika estimasi keuntungan yang diharapkan tidak tercapai atau actual returnnya adalah tidak diperoleh
bahkan terlalu jauh maka kerugian finansialah yang akan diperoleh.
Maka kita dapat memberikan suatu
garis penegasan dalam konteks manajemen risiko, yaitu :
a.
Pada saat suku bunga
mengalami kenaikan dan harga saham di pasar (market price) mengalami penurunan, maka investor akan cenderung
memindahkan dananya dari saham ke deposito (time
deposit).
b.
Pada saat kondisi pasar
saham mengalami kenaikan atau bergairah maka investor cenderung akan
memindahkan dananya yang tersimpan di deposito (time deposit) ke saham. Dengan alasan berinvestasi di saham adalah
memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi.
c.
Investor adalah mereka
yang memiliki karakteristik “penghindar risiko”, dan menyukai keuntungan yang suistainable (berkelanjutan).
3.
Suku
bunga dan jangka waktu obligasi
Suku bunga dan jangka waktu obligasi memiliki
keterkaitan dalam mmberikan ketetapan. Untuk ini ada dua bentuk keputusan yang
biasa berlaku atau diterapkan oleh pemerintah dan perusahaan, yaitu obligasi
dengan jangka waktu pendek (short term)
dan obligasi dengan jangka waktu panjang (long
term). Dimana obligasi jangka waktu pendek memiliki suku bunga yang lebih
rendah dari pada obligasi yang jangka panjang, contohnya pada tanggal 26
februari 2009, misalnya pemerintah menerbitkan obligasi dengan tenor 5 dan 10
tahun. Untuk tenor 5 tahun telah diserap pasar senilai 1 milyar dollar AS
dengan yield (bunga) 10,5 persen.
Sedangkan untuk tenor 10 tahun diserap pasar 2 miliar dollar AS dengan yield
lebih tinggi 11,75 persen.
Untuk memahami ini secara lebih dalam
ada tiga alasan mengapa suku bunga obligasi dengan tenor 5 hingga 10 tahun
berbeda suku bunganya, yaitu :
·
Pertama, obligasi
adalah surat utang. Dalam konsep utang semakin lama jangka waktunya semakin
tinggi suku bunga yang biasanya ditetapkan. Karena melihat pada nilai utang
yang semakin jauh waktunya maka semakin turun nilainya. Semakin lama investor
menanamkan uangnya dalam obligasi, semakin besar kerugian yang ditanggungnya
dan semakin besar pula penurunan dalam harga obligasi.
·
Kedua, konsep time line (garis waktu) yang terus bergerak ke depan, yaitu melihat
pada penggunaan uang semakin cepat digunakan semakin baik, karena semakin cepat
bisa diturnover-kan. Bisa cepat diturnover secara otomatis risiko juga
menjadi lebih tinggi, sedangkan investor adalah mereka yang memiliki
karakteristik penghindar risiko, dengan begitu rekomendasi yang dibuat adalah
sulit memperoleh keuntungan dalam jangka waktu yang singkat, yaitu 5 tahun,
maka investor guna menghindari kerugian atau memutuskan untuk mendapatkan
keuntungan dalam bentuk yield yang
hanya 10,5% saja.
·
Ketiga, konsep inflasi
bahwa inflasi itu sifatnya struktural dan terus naik dari waktu ke waktu,
sementara inflasi adalah menurunnya nilai uang dan naiknya harga barang, maka
artinya nilai mata uang semakin lama semakin terjadi penurunan.
4.
Konsep
manajemen risiko pada suku bunga obligasi
Ada beberapa alasan yang bisa kita
pahami mengapa suku bunga obligasi memiliki angka suku bunga yang berbeda pada
masa kurun waktu 5 hingga 10 tahun, jika ini kita lihat dari segi perspektif
manajemen risiko, yaitu :
·
Pertama,
dengan kondisi suku bunga obligasi yang
cenderung stabil maka masyarakat akan merasa lebih nyaman serta lebih
menguntungkan dari pada menempatkan uang tersebut dipasar atau dengan asumsi
menginvestasikan uang tersebut ke pasar akan jauh memiliki tingkat risiko yang
tinggi.
·
Kedua,
jika seorang membeli obligasi dengan
masa tenor 10 (sepuluh) tahun dan suku bunga fixed yang di tetapkan adalah 11,75% maka artinya pemegang obligasi
tersebut adalah akan selalu menerima keuntungan secara stabil selama sepuluh tahun
sebesar angka tersebut. Disamping penerimaan dari keuntungan bunga obligasi
tersebut ia juga memiliki kesempatan untuk mengalokasikan dananya ke tempat
lain yang juga memiliki sisi profitable dan risiko yang rendah.
·
Ketiga,
penjual obligasi dengan masa waktu 5
hingga 10 tahun dan jarak suku bunga yang juga tidak begitu tinggi ini akan
memberi kenyamanan dari segi mengelola dana dari hasil penjualan obligasi
sesuai dengan master plan yang dikonsepkan sejak awal tanpa harus terburu-buru
dan bekerja secara under pressure (dibawah
tekanan). Karena jika bekerja terlalu dibawah tekanan kadang kala dikhawatirkan
pekerjaan tersebut tidak akan terselesaikan secara maksimal, teliti, dan
akurat. Contohnya perusahaan pengeboran migas melakukan penjualan obligasi
sebesar Rp. 1 triliun dengan tenor 10 tahun dan suku bunga yang ditetapkan
adalah 11% (sebelas persen), maka sebagaimana kita ketahui secara konsep
manajemen risiko pada perusahaan migas memiliki beberapa sumber risiko pada
perusahaan migas memiliki beberapa sumber risiko yang terjadi secara umum
seperti :
a.
Cadangan migas yang
sewaktu-waktu bisa habis lebih cepat dari yang diperkirakan karena faktor
pergerakan kulit bumi atau bergesernya kerak bumi, dan berbagai kejadian
lainnya yang bersifat spesifik.
b.
Kebocoran dan patahan
pipa yang terjadi pada saat dilakukan pengeboran atau pada saat sudah dilakukan
pengeboran atau juga pada masa proses produksi berlangsung baik disebabkan oleh
human error maupun karena mesin, ini
seperti yang terjadi pada kasus lumpur panas oleh PT.Lapindo Brantas di
Sidoarjo, Jawa Timur. Dan itu mengharuskan perusahaan mengeluarkan biaya besar
untuk melakukan pergantian pada berbagai kerusakan yang telah terjadi khususnya
masyarakat sebagai bentuk risk cost perusahaan.
c.
Naik turunnya harga
migas dipasaran internasional secara tidak stabil mampu memberi pengaruh pada
pencatatan akuntansi perusahaan.
·
Keempat,
pemegang serta pembeli obligasi umumnya
adalah mereka yang memiliki kelebihan dana dan menginginkan dana tersebut
diamankan ke tempat yang memiliki risiko yang seminimal mungkin, yang salah
satunya adalah membeli obligasi khususnya obligasi yang dijual oleh pemerintah.
5.
Risiko
pada Hubungan Obligasi dan Saham
Obligasi adalah suatu surat berharga
yang dijual kepada publik, dimana disana dicantumkan beberapa ketentuan yang
menjelaskan berbagai hal seperti nilai nominal, tingkat suku bunga, jangka
waktu, nama penerbit dan beberapa ketentuan lainnya yang menjelaskan dalam
undang-undang yang disahkan oleh lembaga terkait.
Obligasi yang memiliki tingkat suku
bunga tetap dan obligasi yang memiliki tingkat suku bunga berubah berdasarkan
keadaan pasar mampu memberi pengaruh khusus pada keputusan yang dibuat oleh
seorang investor. Adapun tindakan investor dalam kondisi seperti itu adalah :
ü Pada
saat seorang investor memegang obligasi dengan suku bunga tetap dan pasar saham
mengalami kenaikan atau tingkat kegairahan pasar saham mengalami peningkatan
maka investor cenderung akan mengalihkan sejumlah dananya dari obligasi ke
saham.
Contoh
: suku bunga obligasi adalah 10,5% dengan masa tenor 5 (lima) tahun dan
bersifat fixed (tetap), sedangkan
pasar saham sedang mengalami kegairahan dan diperkirakan akan terus mengalami
pertumbuhan yang konstan dalam masa 3-5 tahun ini. Kondisi ini menyebabkan investor
yang profitabel akan cenderung untuk memilih membawa dana yang dimiliki untuk
diletakkan di pasar saham.
Pada saat obligasi mengikuti kondisi harga
pasar, naik dan turunnya suku bunga yang berlaku di pasaran mampu member arti
bagi perolehan keuntungan yang didapat. Ini sebagaimana dikatakan oleh Eduardus
Tandelilin bahwa “…, jika suku bunga yang berlaku meningkat maka harga obligasi
juga akan turun, dan sebaliknya. Logikanya adalah bahwa jika suku bunga
meningkat, maka tingkat return yang
disyaratkan investor atas suatu obligasi juga akan meningkat”. Pemikiran yang
dikemukakan oleh Eduardus Tandelilin memiliki keterkaitan kuat dengan apa yang
dikemukakan oleh Masyhud Ali bahwa “… turunnya nilai pasar obligasi yang
berbunga mengambang (floating interest
rate bonds) dan naiknya nilai pasar obligasi yang berbunga tetap (fixed interest rate bonds). Hal ini
berlaku jika terjadi penurunan tren tingkat suku bunga bank”.
Memang permasalahan yang utama pada
obligasi yang bersifat floating interest
rate bonds adalah mengikuti kondisi dan situasi yang berlaku di pasar.
Pasar dengan segala pergerakannya mampu memberi efek pengaruh pada profit and loss (keuntungan dan
kerugian) yang akan ditimbulkannya, seperti pada perbankan mampu memberi
perubahan pada portofolio. Sehingga dalam konteks ini yang perlu kita pahami
bahwa perbankan merupakan salah satu lembaga yang bergerak dalam lingkungan
bisnis yang sophisticated dan untuk
menghindari agar posisi bank tetap memiliki likuiditas yang kuat salah satunya
dengan menerapkan manajemen hedging (lindung
nilai). Penetapan hedging mampu
memberi pengaruh pada penurunan risiko atau mengantisipasi risiko.
6.
Dampak
perubahan suku bunga bagi perusahaan
Menurut Mamduh M. Hanafi perubahan
tingkat bunga bisa menyebabkan perusahaan menghadapi dua tipe risiko, yaitu :
a. Risiko
perubahan pendapatan : pendapatan bersih (hasil investasi dikurangi biaya)
berubah yaitu berkurang dari yang diharapkan).
b. Risiko
perubahan nilai pasar berubah karena perubahan tingkat bunga, yaitu berubah
karena lebih kecil (turun nilainya).
7.
Risiko
pada perubahan suku bunga dan permintaan uang
Secara sederhana kita bisa
menyimpulkan bahwa permintaan uang sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi berlakunya
suku bunga dipasaran dan begitu pula sebaliknya. Kita dapat menarik beberapa
kesimpulan dari pergerakan perubahan naik turunnya suku bunga yaitu :
a. Pertama, pada
saat tingkat suku bunga diturunkan dari titik A ke titik C maka publik akan
memberi berbagai reaksi di antaranya menempatkan kelebihan dana yang dimilikinya
untuk membeli asset-aset yang diperkirakan akan memberikan keuntungan. Baik keuntungan
tersebut bersifat tatap dan stabil seperti membeli obligasi maupun beberapa
surat berharga lainnya. Atau menempatkan dananya pada dunia usaha yang di
anggap memiliki tingkat profitable yang berprospek.
b. Kedua, pada
saat suku bunga diturunkan dari titik A ke titik C bahkan ke titik D maka
banyak pihak yang berkeinginan menarik dana atau simpanan dari bank untuk
selanjutnya dipakai guna mengembangkan usaha atau meminjamkan dananya tersebut
kepihak yang di anggap memiliki kapabilitas dalam mengelola dan mengatur
keuangan secara baik serta tentunya mampu memberikan keuntungan secara menarik
dan aman.
c. Ketiga, pada
saat suku bunga diturunkan dari titik A ke titik C bahkan ke titik D bahkan
lebih jauh lagi maka ini akan bisa mengakibatkan persoalan jika tidak di
lakukan kontrol secara hati-hati. Karena mereka yang membeli asset dan mereka
yang menerima uang dari hasil penjualan asset tersebut harus dilihat dari
berbagai segi terutama kemampuan mengelola dana yang telah diperoleh tersebut.
Seperti perolehan dana dari hasil penjualan obligasi maka control atau
pengawasan secara ketat terhadap dana yang diperoleh tersebut adalah mutlak
untuk dilakukan agar risiko kehilangan dana tidak terjadi. Ini juga bisa
terjadi seperti kasus terlambatnya pembayaran bunga obligasi sebagai bentuk
pencerminan kegagalan dalam kemampuan mengelola dana penjualan obligasi secara
tepat.
d. Keempat, pada
saat tingkat suk buna dinaikkan dari titik A ke titik B maka diperkirakan akan
terjadi beberapa hal yaitu :
1)
Perubahan bagi pemegang
kelebihan likuiditas, yaitu mereka cenderung akan menyimpan uangnya diperbankan
karena di anggap lebih menarik. Ini bisa terjadi pada saat suku bunga deposito
dinaikkan maka public akan berusaha memindahkan uang yang dimiliki ke deposito,
dengan alasan mendepositokan uang diperbankan jauh lebih aman dan lebih stabil,
seperti setiap penerimaan bunga sebagai keuntungan yang diterima.
2)
Menaikkan suku bunga
dari titik A ke titik B dapat dilihat dari sudut kebijakan pemerintah dengan
tujuan berbagai bentuk antara lain seperti :
o
Menerapkan berbagai
bentuk kebijakan kewaspadaan (kehati-hatian) dalam bidang moneter karena diperkirakan
jika diturunkannya suku bunga pinjaman terlalu jauh dan dibiarkan terlalu lama
mampu menyebabkan terjadinya inflasi karena publik begitu mudah.
o Mendapatkan
dana dan faktor pengalokasian dana yang belum tentu tepat sesuai dengan proyek
usaha yang dikerjakan, seperti timbulnya gagal usaha sehingga kemampuan
membayar angsuran kredit mengalami permasalahan, ini menyebabkan telah
terjadinya kredit macet.
Kondisi naik dan turunnya suku bunga
yang ditetapkan oleh perbankan lebih jauh mampu memberi pengaruh pada kondisi perkembangan
bisnis disuatu Negara. Pada saat penawaran uang ditingkatkan maka jumlah
produksi akan terjadi peningkatan dengan asumsi daya beli masyarakat juga akan
terjadi peningkatan. Kondisi ini terjadi pada saat D1 bergerak ke D2 dan D3
serta kuantitas permintaan uang oleh publik juga terjadi peningkatan yaitu dari
Q1 bergerak ke Q2 dan Q3, dimana otomatis ini juga akan diikuti oleh pergerakan
oleh R1 ke R2 hingga ke R3.
8.
Risiko
Carry Trade
Risiko carry trade adalah bentuk
perilaku investor dalam melakukan investasi dengan cara meminjam dana dari
suatu Negara dan yang memiliki tingkat suku bunga yang rendah dan selanjutnya
membawa dana tersebut untuk diinvestasikan atau ditanamkan pada Negara yang
memiliki tingkat suku bunga tinggi, dengan harapan akan memperoleh selisih
keuntungan di sana.
Persoalannya adalah jika suku bunga
kembali ke posisi normal atau rendah maka dana yang berasal dari carry trade
tersebut akan ditarik kembali untukdi bawah ke tempat asalnya. Kasus carry
trade ini hamper memiliki kesamaan dengan hot money (arus dana asing jangka
pendek).
Pengaruh yang terjadi pada moneter
suatu Negara yang masih menerapkan suku bunga tinggi adalah dimana bank sentral
Negara tersebut mencoba terus mempertahankan kondisi suku bunga tinggi, dengan
maksud agar surplus transaksi terus terjaga. Ini sebagaimana dikatakan oleh M.
Fajar Marta bahwa
“
Salah satu cara yang dilakukan BI dalam menjaga surplus transaksi portofolio adalah
mempertahankan rezim suku bunga. Buktinya, suku bunga acuan (BI rate) yang kini
6,5 persen merupakan yang tertinggi dikawasan asia di bandingkan dengan Thailand
yang 1,75 persen dan Malaysia yang 2 persen. Tingginya BI rate pada akhirnya
mengerek suku bunga berbagai instrument di pasar keuangan domestik. Imbal hasil
surat utang Negara (SUN) tenor 10 tahun, misalnya, mencapai sekitar 13 persen.
BI enggan menurunkan BI rate lebih jauh meskipun inflasi 2009 hanya 2,78
persen. Kebijakan ini akhirnya menjadi boomerang bagi BI sendiri. Likuiditas di
pasar keuangan yang melimpah tanpa disertai aktivitas sector riil yang seimbang
akhirnya memaksa BI untuk menyerap kembali likuiditas tersebut dengan
menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Alhasil, SBI menumpuk mencapai Rp.
270 triliun dengan porsi asing terus membesar. Ongkos yang harus dikeluarkan
pun membengkak mencapai lebih dari Rp. 18 triliun dengan porsi asing terus
membesar. Ongkos yang harus dikeluarkan pun membengkak mencapai lebih dari Rp.
18 triliun pada 2009. Tak hanya biaya moneter yang membengkak. Lebih parah
lagi, strategi BI untuk sebenarnya kontraproduktif bagi perkembangan sector
riil yang seharusnya menjadi basis pertumbuhan ekonomi berkualitas.
Investasi yang harus dikedepankan
untuk saat ini di Indonesia adalah sector riil. Sector riil masih di anggap
memiliki peran penting dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya sector bisnis
lain. Dimana salah satu hambatan perkembangan bisnis ini adalah tidak
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai seperti jalan, jembatan, dermaga
atau pelabuhan, terminal angkutan, listrik, telepon, rumah sakit, sekolah dan
lain-lain, yang sampai saat ini belum begitu merata. Ketidakmerataan itu
terlihat di Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di provinsi papua. Masih
banyak masyarakat yang belum menikmati suksesnya pembanguan, padahal di sana
banyak potensi yang bisa digarap dan didayagunakan, seperti pembukaan bisnis
perkebunan, pertanian, kelautan, dan sebagainya.
Sehingga apa yang dikemukakan oleh M.
Fajar Marta dengan berbagai alasan pemikirannya tidak akan terjadi. Memang
sebaiknya yang utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mendukung real
investment. Karena real investment mampu membuka lapangan pekerjaan serta
menekan angka pengangguran juga menaikkan income perkapita masyarakat yang
terlihat di sana.
9.
Faktor
yang menyebabkan perubahan pada suku bunga domestik
Ada 3 faktor yang mampu memberi
pengaruh pada suku bunga domestik suatu Negara, yaitu :
a. Kondisi
ekonomi global
b. Stabilitas
ekonomi dalam negeri
c.
Stabilitas sosial dan
politik dalam dan luar negeri.
Bila
ketiga hal ini terjadi terus dan tidak mendapat penanganan yang serius terutama
dari lembaga yang berwenang khususnya Bank Sentral yaitu Bank Indonesia maka
diperkirakan secara jangka panjang akan memberi efek pada stabilitas suku
bunga. Kondisi stabilitas suku bunga yang bersifat tidak stabil yaitu berubah
dari yang diharapkan oleh banyak pihak khususnya para pelaku ekonomi seperti
pebisnis (baik kelas atas, menengah, dan bawah) akan berujung kepada penurunan
pendapatan yang akan diperoleh.
Tabel
Perkembangan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI Rate)
Waktu
|
BI Rate (persen)
|
Juli
2006
|
12,25
|
Januari
2007
|
9,50
|
Januari
2008
|
8,00
|
Namun sebaliknya jika suku bunga
cenderung stabil dan berada pada kondisi yang di harapkan maka artinya risiko
yang akan diterima adalah lebih kecil dari yang diperkirakan. Kecilnya risiko
menyebabkan pihak pelaku bisnis cenderung akan mampu memperbesar profit secara
sistematis. Pada tabel di atas dapat kita lihat bagaimana setiap tahun BI rate
terus saja mengalami penurunan yaitu dari 12,25% (Juli 2006), kemudian 9,50%
(Januari 2007), dan 8,00% (Januari 2008). Kondisi penurunan bunga seperti ini dapat
di anggap sebagai penurunan bunga yang bersifat stabil dan sistematis.
Contoh Kasus
PT. perikanan samudra india adalah
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perikanan laut yang berkedudukan di
Tangerang membutuhkan tambahan finansial untuk membangun dan mengembangkan perusahaan secara lebih maju, seperti membuka
pabrik baru menambah karyawan baru yang lebih terampil. Selama ini kemajuan
perusahaan telah menunjukkan hasil yang berarti, yaitu terlihat dari laporan
keuangan (financial statement) yang di sampaikan oleh pihak manajemen perusahaan
kepada public dan komisaris perusahaan khususnya. Wilayah penjualan perusahaan
bukan hanya di dalam negeri saja namun juga sudah menerima pesanan dari
konsumen luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, dan
Jepang.
Kebutuhan dana yang direkomendasikan
oleh pihak komisaris perusahaan sebaliknya dari pinjaman perbankan, dengan
alasan urusannya di anggap jauh lebih mudah dan sederhana jika dibandingkan
dengan menerbitkan saham, serta biaya yang dikeluarkan juga tidak begitu besar,
seperti menerbitkan saham yang harus mencetak kertas saham dan membuat
pertemuan dengan para pemegang saham. Sementara jika meminjam dari Bank hanya
cukup dengan memiliki agunan yang sesuai dengan jumlah pinjaman saja.
Keputusan dan rekomendasi yang di
usulkan oleh pihak komisaris perusahaan tersebut menjadi bahan kajian bagi
pihak manajemen perusahaan khususnya
manajer perusahaan. Bagi pihak manajer perusahaan ada beberapa alasan yang
dilihat dalam rangka persoalan dana yang berasal dari pinjaman tersebut, yaitu
:
1.
Pinjaman perbankan
bersifat perhitungan bunga efektif, yaitu flat hanya satu tahun dan selanjutnya
berdasarkan kondisi realita pasar.
Dalam artian
naik dan turunnya tergantung pada kondisi ekonomi mikro dan makro di pasaran, yaitu
jika ekonomi stabil maka suku bunga juga stabil namun jika ekonomi tidak stabil
maka suku bunga juga tidak akan stabil.
2.
Selama ini para
konsumen yang membeli produk perikanan pada PT.Perikanan Samudra India banyak
yang membeli secara tidak tunai atau kredit, yaitu membayarnya secara bertahap.
Sehingga penerimaan penjualan perusahaan adalah bersifat bertahap.
3.
Selama ini perusahaan
juga sudah memiliki utang dalam bentuk valuta asing kepada para rekanan bisnis,
dan sistim pembayarannya juga di bayar tidak secara tunai. Sehingga karena
faktor pembayaran tidak dilakukan dengan tunai maka jarak pembayaran tersebut
memungkinkan timbulnya kondisi fluktuatif
dalam bentuk valas yang otomatis bisa saja memberatkan perusahaan PT.
Perikanan Samudra India. Apalagi jika selama ini penetapan pembayaran cicilan
pinjaman di tetapkan dengan system bunga mengambang yang memiliki kemungkinan
besar untuk terpengaruh oleh valas.
Atas dasar alasan seperti itu maka
berikanlah solusi pemecahan dan rekomendasi terhadap apa yang harus dilakukan
oleh manajer keuangan perusahaan PT.Perikanan Samudra India.
Pertanyaan untuk
didiskusikan
1. Jelaskan
bagaimana risiko suku bunga itu bisa terjadi!
2. Jelaskan
bagaimana bentuk risiko yang terjadi pada pemegang obligasi. Berikan contohnya!
3. Apakah
menurut anda naik dan turunnya suku bunga berhubungan dengan permintaan uang di
mata publik? Jika ya dan tidak jelaskan!
4.
Mengapa suku bunga
pinjaman perbankan di Indonesia menurut banyak pihak di anggap memiliki suku
bunga yang lebih tinggi dibandingkan yang ada di Negara lain, seperti Malaysia,
Singapura, Australia, Jepang dan Sebagainya? Jika anda setuju atau tidak dengan
pernyataan ini berikan penjelasan anda, dan bagaimana kira-kira cara
mengatasinya!
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Risiko suku bunga adalah risiko yang
dialami akibat dari perubahan suku bunga yang terjadi di pasaran yang mampu
memberi pengaruh bagi pendapatan perusahaan. Adapun pengertian risiko suku
bunga menurut Mashud Ali adalah terjadi sebagai akibat dari terdapatnya mismatched atas maturities pada interest rate related products di sisi
aktiva dan passiva neraca bank.
Menurut Mamduh M. Hanafi perubahan
tingkat bunga bisa menyebabkan perusahaan menghadapi dua tipe risiko, yaitu :
a.
Risiko perubahan
pendapatan : pendapatan bersih (hasil investasi dikurangi biaya) berubah yaitu
berkurang dari yang diharapkan).
b.
Risiko perubahan nilai
pasar berubah karena perubahan tingkat bunga, yaitu berubah karena lebih kecil
(turun nilainya).
Ada 3 faktor yang mampu memberi pengaruh
pada suku bunga domestik suatu Negara, yaitu :
a.
Kondisi ekonomi global
b.
Stabilitas ekonomi
dalam negeri
c.
Stabilitas sosial dan
politik dalam dan luar negeri.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun pendengar dan semoga kelompok masyarakat bisa
lebih mengetahui tentang risiko suku bunga dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir,
Dr. 2012.
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Hasibuan,
Malayu S.P. 2009. Dasar-Dasar Perbankan.
Jakarta: PT Bumi Aksara