KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH,SWASTA DAN MASYARAKAT

10:43 PM
MAKALAH
 KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH , SWASTA DAN MASYARAKAT






KELOMPOK 5
Muhammad Nawir
 Ilham Amir
Wahyudin
Nurfadillah murry
Fitriany muin
Anita indriani

STIM YAPIM 2015~2016
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan kasih karuniaNya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada kami penulis sehingga dapat menyelesaikan Artikel ini. Adapun Artikel yang berisi materi KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH,SWASTA DAN MASYARAKAT"ini diperbuat dengan tujuan memenuhi pengerjaan tugas mata kuliah KEUANGAN DAERAH.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa Artikel ini masih terbatas dan jauh dari sempurna. Namun demikian, kami telah berusaha dan bekerja keras demi terselesainya makalah ini, dan supaya Artikel ini bermanfaat bagi kami sebagai penyusun maupun bagi para pembaca. Saya juga menyadari bahwa Artikel ini tidak dapat terselesaikan tanpa ada dorongan dan dukungan serta bimbingan yang sangat berarti dari berbagai pihak, terutama kepada Ibu dosen Indah Widiastuti, Se,M.si,Ak,CA Terimakasih setulus-tulusnya kami sampaikan kepada kedua Orangtua kami, yang dengan penuh kasih sayang telah membimbing kami dan memberikan dorongan baik moril maupun materil kepada kami. Dan kami juga menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari saudara-saudara pembaca.
Demikian Artikel ini dapat kami perbuat. Lebih dan kurangnya kami mohon maaf. Atas perhatian dari saudara-saudara, kami ucapkan terimakasih.
                                                                                                       
                                                                                                              Maros,  November  2015
                                                                                                             Penulis
                                                                                                              kelompok 5






BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan Daerah
Latar Belakang Perlunya Kerjasama
Dalam tataran akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari konsepsi government kepada governance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima benefit (beneficiary) terbesar.
Dengan berkembangnya paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat – Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerjasama harus lebih digalakkan.
Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya memperkuat kerjasama publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai berikut:
1. Alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance) serta untuk mendorong perwujudann good governance and good society
2. Alasan administratif: adanya keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen.
3. Alasan ekonomis : mengurangi kesenjangan (disparity) atau ketimpangan (inequity), memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kontinuiitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko.
Desentralisasi dan Tuntutan Transfer of Power
Wacana tentang desentralisasi dan otonomi daerah terus menggelinding. Saking ramainya perdebatan tentang implementasi dan implikasi otonomi, banyak orang melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri. Jiwa atau semangat otonomi menurut UU 22/1999 adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum disini tidak hanya pemerintah Kabupaten/Kota saja, tetapi juga meliputi para pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga dan Rukun Tetangga.
Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, UU 22/1999 lebih mencerminkan pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi daerah” itu sendiri. Hal ini bisa disimak dari gelombang devolusi kewenangan yang teramat besar dari pusat kedaerah, yang disusul dengan penataan kelembagaan yang cenderung gemuk dan membebani anggaran. Akibatnya, mutu pelayanan publik bukan semakin membaik, namun beban masyarakatlah yang justru bertambah berat dengan ditetapkannya berbagai Perda tentang pungutan retribusi.
Penafsiran yang berlebihan – jika tidak dikatakan salah – terhadap otonomi inilah yang telah melahirkan egoisme kedaerahan yang sempit. Egoisme ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni egoisme keatas (upward egoism) dan egoisme kebawah (downward egoism).
Kondisi dimana daerah kurang mengindahkan aturan dan bimbingan dari atas, serta kurang memberdayakan potensi dibawah inilah yang potensial melahirkan sosok pemda yang tidak demokratis, atau bahkan otoritarian.. Tidaklah mengherankan jika kemudian berkembang gagasan untuk menarik kembali sebagian kewenangan otonomi ke Pusat (resentralisasi), atau memindahkan titik berat otonomi pada level Propinsi (reklasifikasi).
Pemerintah sendiri telah menjamin tidak akan melakukan resentralisasi, karena hal ini memang merupakan kebijakan yang tidak populer dan gegabah. Justru ide reklasifikasi atau rekalkulasi kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota-lah yang lebih masuk akal. Jika dalam konsep awal UU 22/1999 Kabupaten/Kota memiliki kewenangan luas sedang Propinsi terbatas; maka dengan kebijakan reklasifikasi akan terdapat perimbangan kewenangan yang lebih proporsional. Dan hanya dengan hubungan yang lebih berimbang inilah dapat dihindarkan egoisme atau otoritarianisme lokal, sekaligus menjamin efektivitas roda pemerintahan dan pembangunan.
Pada saat bersamaan, ada hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau penyelenggaraan langsung suatu urusan.
Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah sebabnya, dalam pasal 66 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.
Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.
Pertama, Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload) sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain, sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format kelembagaan semakin besar dan tidak efisien. Kedua, Kecamatan sebagai perangkat Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dari model transfer ofpower dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kecamatan/Kelurahan ini antara lain adalah:
· Beban Pemda dalam penyediaan/pemberian layanan semakin berkurang karena telah diambil alih oleh Kecamatan atau Kelurahan/Desa sebagai ujung tombak;
· Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan yang besar sehingga dapat menghemat anggaran;
· Alokasi dan distribusi anggaran lebih merata keseluruh wilayah sehingga dapat menjadi stimulan bagi pertumbuhan ekonomi regional;
· Sebagai wahana memberdayakan fungsi Kecamatan atau Kelurahan/Desa yang selama ini terabaikan.
Kerjasama dan Implikasi Kelembagaan
Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas desentralisasi internal serta mengembangkan kerjasama dengan masyarakat dan swasta akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada format lembaga pelayanan publik. Hal ini sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran/fungsi pemerintah di satu pihak, dan penguatan peran/fungsi swasta atau masyarakat di pihak lain, secara otomatis menuntut dilakukannya restrukturisasi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan atau perangkat daerah konvensional yang kita kenal selama ini berdasarkan pasal 60 – 68 UU Nomor 22 Tahun 1999, boleh jadi menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di lapangan.
Teknik Analisis Kebijakan Kemitraan dan Model-Model Kerjasama
Dari perspektif administrasi publik, program kerjasama dengan swasta dan/atau masyarakat dapat dilakukan paling tidak dengan 2 (dua) metode, yakni teknik penalaran strategis dalam penetapan kebijakan melalui pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review), serta teknik analisis barang publik dan barang privat (public and private goods).
1. Metode Prior Option Review (POR)
Metode prior option review ini secara garis besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah masih diperlukan atau tidak; dan apakah dengan demikian penyelenggaraan pelayanan umum tersebut perlu dipertahankan, atau sebaiknya dialihkan saja kepada pihak swasta (masyarakat). Adapun hasil dari analisis POR ini berupa model-model restrukturisasi pemerintahan atau model-model kemitraan/kerjasama sebagai berikut:
· Kebijakan Penghapusan: analisa penalaran strategis dimulai dengan analisis dan identifikasi jenis-jenis pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan apakah pelayanan atau jasa-jasa tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus
· Swastanisasi: jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut. Jika tidak, maka jenis-jenis pelayanan/jasa tersebut dapat dipertimbangkan untuk diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi pelayanan tertentu antara lain ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures).
· Kemitraan: apabila pemerintah masih berkepentingan menyelenggarakan pelayanan umum tertentu, namun dana atau anggaran pemerintah terbatas, pertanyaan selanjutnya diajukan untuk mencari kemungkinan mengikutsertakan dana pihak swasta/masyarakat dalam penyediaan pelayanan/jasa tersebut. Pengikutsertaan dana pihak swasta ini bisa dilakukan dalam bentuk swadaya masyarakat, BOT atau BOOT dan sebagainya yang dikenal dengan istilah Private Funding Initiatives (PFI). Contoh inisiatif swasta dalam bidang pelayanan umum antara lain: Pembangunan dan Pengelolaan Jalan Tol Jakarta-Cikampek; Angkutan Umum Bis antar kota dan antar Propinsi, angkutan umum perkotaan dan perdesaan; Rumah sakit swasta, Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi swasta; Penyediaan dan pembangunan Perumahan oleh swasta; Panti asuhan anak-anak terlantar dan Rumah Jompo yang diselenggarakan oleh badan-badan amal swasta; dan lalin-lain.
· Kontrak Kerja/Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan, selanjutnya dipertanyakan juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum tersebut juga harus dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, maka pelayanan/jasa pemerintah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dikontrakkan Model kebijaksanaan ini telah lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk pekerjaan konstruksi dan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini bisa dikembangkan untuk pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi masyarakat oleh kontraktor swasta; contohnya: PT SGS atau PT SI melaksanakan kegiatan survey kepabeanan berdasarkan kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai; Perusahaan cleaning service untuk pemeliharaan gedung-gedung perkantoran pemerintah; Perusahaan catering swasta untuk melayani makan siang PNS; dan lain-lain.
· Market Testing : jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan sendiri untuk menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan efektif, maka dapat dipertimbangkan pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui proses tender kompetitif antara team intern (In-house bidder) dengan pihak swasta atau team kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini masih baru bagi Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok kerja intern departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk mengikuti tender kompetitifdalam rangka memperoleh kontrak kerja penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. Kelompok ini jika berhasil memenangkan tender akan bertindak sebagi kontraktor dan status kepegawaian para anggotanya akan dialihkan menjadi swasta. Hak-hak kepegawaian mereka selanjutnya bukan lagi menjadi tanggungan pemerintah, tetapi menjadi tanggungan organisasi kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban biaya yang tercantum dalam kontrak kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial lainnya akan dialihkan ke Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir mirip "Market Testing" adalah pembentukan unit-unit swadana berdasarkan Keppres Nomor 38 tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada masyarakat dengan menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam penyelenggaraan pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama dan Kelas I di Rumah Sakit Umum Pemerintah di Pusat maupun di Daerah; Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Universitas Negeri; dan sebagainya.
· Program Efisiensi Internal: setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan ternyata dinilai lebih baik jika penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun oleh pemerintah daerah; maka unit kerja yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, melalui misalnya: kegiatan Benchmarking, Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi, Rasionalisasi, Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi/Penilaiannya, dan sebagainya.
Pilihan kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum (efisiensi, kualitas, efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau ditingkatkan melalui pendekatan mekanisme dan kompetisi. Sedangkan pada pilihan kebijakan nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum dilakukan melalui program efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses produksi, sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan. Dengan itu maka daya saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan tingkat biaya/pengorbanan yang lebih rendah.
2. Metode Analisis Barang Publik –Barang Privat
Pada dasarnya, klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu barang publik (public goods) dan barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik (pemerintah), sementara swasta-lah yang semestinya menyediakan barang-barang privat. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu tidak berlaku. Bias jadi, barang-barang yang tergolong private goods murni harus disediakan oleh pemerintah melalui mekanisme kontrol dan regulasi. Misalnya, kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah dengan sistem operasi pasar, pada saat terjadi kelangkaan (shortage) beras. Dalam kondisi seperti itu, status beras sebagai private goods bergeser menjadi public goods, atau paling tidak semi-public goods. Sebaliknya, jasa pemadam kebakaran justru cenderung beralih dari public goods menjadi private goods.
Dengan demikian, penggunaan teknik analisis barang publik – barang privat ini hanya untuk memudahkan dalam melakukan penilaian terhadap suatu fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu, serta menentukan kebijakan tentang model kelembagaan atau pola kerjasama yang terbaik untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tersebut. Dengan teknik analisis ini, akan dapat diperoleh gambaran tentang banyak sedikitnya peranan atau keharusan campur tangan pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu. Semakin kecil intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu, maka semakin besarlah peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan swasta. Tabel dibawah ini menggambarkan jenis dari setiap barang dan tingkat intervensi pemerintah. Selanjutnya, dibawah Tabel disajikan kasus tentang jasa layanan kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Kasus: Layanan Puskesmas
Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada dokter-dokterswasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh sektor privat pula. Barang publik (public goods) di bidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular), penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan, bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas akan menghemat anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Adapun model atau jenis-jenis kerjasama/kemitraan yang umum dilakukan (selain opsi-opsi yang ditawarkan dalam teknik POR) adalah sebagai berikut:
· Pola Inti Plasma
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Contoh pola kerjasama ini adalah PIR (Perusahaan Inti Rakyat), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra usaha atau plasma (biasanya petani) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai perjanjian yang disepakati.
· Pola Subkontrak
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara suatu perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Pola ini sering diterapkan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil.
· Pola Dagang Umum
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok yang memasarkan hasil dengan kelompok yang mensuplai kebutuhan/produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi di Sukabumi dan Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini.
· Pola Keagenan
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya.
· Waralaba
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak lisensi atau merek dagang perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan disertai bantuan berupa bimbingan manajemen.
Pertimbangan/Kriteria dan Tahapan Dalam Pengembangan Kerjasama Kemitraan
Sesungguhnya tidak ada suatu pedoman baku dalam menetapkan suatu kebijakan tentang kerjasama atau kemitraan bidang tertentu. Apa yang dikemukakan di bawah ini hanyalah suatu pertimbangan atau kriteria logis yang dapat diterapkan untuk semua jenis kerjasama/kemitraan. Dalam hal ini, paling sedikit terdapat 4 (empat) pertimbangan pokok untuk menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau masyarakat.
1. Kriteria Kelembagaan
· Dampak restrukturisasi terhadap perubahan kelembagaan instansi yang selama ini mengelola jenis layanantersebut.
· Dampak restrukturisasi terhadap kepegawaian instansi yang selama ini mengelola/menyediakan jenis layanantersebut.
2. Kriteria Ekonomi dan Finansial
· Kemampuan pemerintah untuk membiayai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan layanan tersebut. Dapat diukur dengan Rasio Antara Prediksi Total Biaya Operasional Yang Diperlukan (Jumlah Masyarakat Yang Harus Dilayani x Rata-rata Biaya Per Orang) Terhadap Dana Pemerintah Yang Tersedia Untuk Layanan Tersebut.
· Kelayakan pasardari jenis layanan suatu jenis layanan. Apakah jenis layanantersebut laku atau tidak jika dijual dengan tarif yang ditentukan.
· Kontribusi net income (pendapatan total dikurangi biaya operasional) dari jenis layanan tersebut terhadap PADS, jika dikelola pemerintah, dibandingkan dengan kontribusi pajak yang akan diterima terhadap PAD jika layanan tersebut diserahkan kepada swasta.
· Tarif yang dikenakan jika dikelola oleh pemerintah dibandingkan prediksi tarif yang akan dikenakan jika dikelola oleh swasta.
· Efisiensi dalam menyelenggarakan layanan, yang tercermin dari rasio antara total penerimaan terhadap total biaya operasional.
3. Kriteria Produk Layanan
· Kondisi kualitas layanansaat ini.
· Kesesuaian layanandengan kebutuhan masyarakat saat ini.
· Kualitas layanansaat ini dibandingkan dengan jika diselenggaran oleh swasta.
4. Kriteria Prosedur dan Mekanisme Pelayanan
· Kesederhanaan prosedur layanansaat ini.
· Kemudahan persyaratan untuk mendapatkan layanansaat ini.
· Kemudahan dan kesederhanaan prosedur pelayanan saat ini dibandingkan dengan prediksi jika layanantersebut diselenggarakan oleh swasta.
Adapun tahapan yang sebaiknya ditempuh untuk menggalang kerjasama kemitraan dengan swasta adalah sebagai berikut (M. Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha, Sinar Harapan, 2000):
1. Membangun hubungan dengan calon mitra.
2. Mengerti kondisi bisnis pihak yang bermitra.
3. Mengembangkan strategi dan menilai detail bisnis.
4. Mengembangkan program.
5. Memulai pelaksanaan.
6. Memonitor dan mengevaluasi perkembangan.
Contoh Best Practices Dalam Public – Private Partnership
Dewasa ini, ada kecenderungan untuk membudayakan praktek-praktek terbaik dalam proses pembangunan kemasyarakatan ataupun kegiatan pemerintahan. Sekecil apapun lingkup dan volume kegiatan, namun jika dapat menjadi contoh yang baik bagi reformasi kelembagaan atau ketatalaksanaan, maka hal itu dapat diklasifikasikan sebagai best practices yang perlu terus dikembangkan. Adapun beberapa contoh best practices di wilayah Kota Bandung adalah:
1. Gerakan Lumbung Kota (GLK) adalah sebuah LSM yang memegang peran cukup penting di bidang sosial selama berlangsungnya krisis moneter (1999-2001). GLK memobilisasi sekitar 400 ketua dan sekretaris RW dan menjalankan 3 aktivitas utama yakni: mendorong gerakan moral, mengumpulkan dana untuk beasiswa bagi anak-anak miskin, serta memberdayakan usaha kecil dengan cara memberi pinjaman dana lunak. Metode penggalangan dana dilakukan melalui pengumpulan dan penjualan barang-barang bekas, yang dikelola oleh Radio Cepi. Rata-rata, usaha ini mampu meraih Rp. 6-8 juta/tahun yang dipergunakan untuk membeli sembako. Sembako ini selanjutnya dijual kepada penduduk miskin dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga pasaran, yakni hanya 40% dari harga normal. Uang yang terkumpul lantas dialokasikan dalam program beasiswa dan kredit kecil. Dalam hal ini, setiap pelaku bisnis kecil memperoleh pinjaman paling besar Rp 200.000. Walaupun jumlahnya relative kecil, namun sangat membantu masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Disaat pemerintah menghadapi krisis keuangan, organisasi kemasyarakatan ini dapat berkontribusi secara nyata terhadap pembangunan.


BAB II
PEMBAHASAN
KEMITRAAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN SWASTA
Peran swasta di sektor publik bukan merupakan hal baru dalam pembangunan infrastruktur, tetapi isu ini menjadi menarik karena menjadi tren di berbagai negara dalam satu dekade terakhir.  Secara nasional, konsep ini menjadi populer ketika pemerintah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit I pada awal tahun 2005. Beberapa proyek pemerintah seperti jalan tol, pengelolaan air minum, listrik dan telekomunikasi ditawarkan kepada swasta sebagai proyek kerjasama. Bahkan di tingkat lokal, beberapa daerah melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek infrastruktur mereka. Misalnya Pemerintah DKI Jakarta dengan Proyek Mass Rapid Transport (MRT), Pengelolaan Air Minum Tirta Nadi di Medan atau rencana pembangunan Pasar Modern Angso Duo di Jambi yang merupakan contoh kerja sama pemerintah daerah dengan pihak swasta berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Upaya melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek pemerintah bukan tanpa alasan kuat. Ide ini terutama dilandasi oleh pemikiran bahwa pemenuhan infrastruktur publik memerlukan dana yang besar. Sementara, kebutuhan infrastruktur terus meningkat baik karena pertambahan penduduk maupun untuk penggantian infrastruktur lama yang telah usang. Jika pembangunan hanya mengandalkan dana yang bersumber dari pemerintah, maka usaha menyediakan infrastruktur yang layak akan sulit diwujudkan. Pada akhirnya, negara/daerah menjadi semakin tidak kompetitif karena tidak mampu menyediakan infrastruktur secara memadai.
Masuknya pihak swasta melalui pola kemitraan dengan pemerintah memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah (partnership, 2011):
1. Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan;
2. Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;
3. Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah;
4. Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak;
5. Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
6. Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
7. Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan manajerial.
dari berbagai manfaat kerjasama pemerintah dan swasta di atas cukup memberi gambaran mengapa Public Private Partnership dapat menjadi sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan infrastruktur yang sering terkendala karena masalah pendanaan, teknologi, maupun manajerial. Selanjutnya melalui tulisan ini sedikit akan diulas tentang apa dan bagaimana konsep kerjasama pemerintah dan swasta khususnya dalam penyediaan fasilitas publik serta bagaimana implementasinya di Indonesia.
Kerjasama Pemerintah Swasta
(Public Private Partnership/PPP)
Konsep kerjasama pemerintah dan swasta memiliki dimensi yang cukup luas, sehingga berbagai institusi mendefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, esensi Public Private Partnership terletak pada kerjasama penyediaan hingga pengoperasian infrastruktur publik yang melibatkan pihak pemerintah dan swasta. Bank Dunia (2012) misalnya, memberikan definisi
Public Private Partnership (PPP)
sebagai suatu kontrak jangka panjang antara pihak pemerintah dan swasta untuk menyediakan barang dan layanan publik, dimana pihak swasta menanggung resiko secara signifikan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan proyek kerjasama.
Dalam kaitannya dengan pihak swasta, konsep kerjasama memiliki beberapa bentuk yang seringkali digunakan secara bergantian sebagai konsep Public Private Partnership. Asian Development Bank (2013) menyebutkan, terdapat 2 (dua) istilah lain untuk menjelaskan konsep kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta, yaitu partisipasi sektor swasta (private sector paricipation/PSP) dan privitasisasi, dimana kedua istilah ini dalam implementasinya memiliki ciri yang berbeda dengan public private partnership.
Sebuah kerangka kerjasama yang kuat dalam Public Private Partnership yakni mencakup ke dalam aspek pembagian tugas, kewajiban dan resiko antara pihak pemerintah dan swasta secara optimal. Pihak pemerintah dalam konsep PPP bisa merupakan sebuah kementerian, departemen, kabupaten/kota atau badan usaha milik negara. Sedangkan pihak swasta dapat bersifat lokal atau internasional dari kalangan bisnis dan investor yang memiliki keahlian teknis dan keuangan yang relevan dengan proyek, dan bahkan dalam konteks yang lebih luas pihak swasta dalam hal ini dapat termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi berbasis masyarakat yang mewakili pemangku kepentingan secara langsung terhadap kegiatan pembangunan.
Istilah partisipasi sektor swasta (private sector participation) sering digunakan secara bergantian dengan public private partnership, namun kerjasama dalam PSP lebih menekankan pengalihan kewajiban kepada sektor swasta daripada kesempatan untuk melakukan kemitraan. Sedangkan privatisasi merupakan pelepasan kepemilikan pemerintah melalui penjualan saham, aset dan jasa operasi yang dimiliki sektor publik. Biasanya, ketika privatisasi terjadi diikuti dengan pengaturan sektor tertentu untuk menangani masalah sosial dan kebijakan yang terkait dengan penjualan, serta kelanjutan pengoperasian aset yang digunakan untuk pelayanan publik.
Jadi istilah kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership) memiliki  4 (empat) prinsip dasar, yaitu (partnership, 2011) :
1. Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya;
2. Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antara pihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaannya atau kombinasi keduanya ;
3. Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge);
4. Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhi pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah dapat mengambil alih.
Model Public Private Partnership
Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam skema public private partnership memiliki berbagai bentuk dan tidak ada satupun model yang persis sama dengan model lainnya. Dalam prakteknya merupakan kombinasi dari fungsi-fungsi berikut :
1. Design-Build-Finance-Operate (DBFO). Model ini merupakan bentuk paling umum dari PPP. Model ini mengintegrasikan empat fungsi dalam kontrak kemitraan mulai dari perancangan, pembangunan, pembiayaan hingga pengoperasian. Penyediaan infrastruktur publik dibiayai dari penghimpunan dana swasta seperti perbankan dan pasar modal. Penyedia akan membangun, memelihara dan mengoperasikan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan sektor publik. Penyedia akan dibayar sesuai dengan layanan yang diberikan untuk suatu standar kinerja tertentu sesuai kontrak.
2. Design-Build-Operate (DBO), merupakan salah satu variasi model DBFO. Dalam model ini, pemerintah menyediakan dana untuk perancangan dan pembangunan fasilitas publik. Setelah proyek selesai, fasilitas diserahkan kepada pihak swasta untuk mengoperasikannya dengan biaya pengelolaan ditanggung oleh pihak swasta.
Penerapan di Indonesia
Saat ini kerjasama pemerintah dengan swasta yang populer di Indonesia dengan istilah KPS dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan berikut, yaitu :
1. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
2. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
3. Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
5. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
disamping peraturan-peraturan di atas, terdapat peraturan di bawahnya seperti Peraturan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah yang juga mengatur dan memberi ruang bagi swasta untuk menjadi mitra kerjasama pemerintah daerah dalam pemanfaatan aset/barang milik daerah. Jika ini dikelola dengan baik, tentunya aset daerah akan menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial sekaligus peluang mempercepat pembangunan infrastruktur wilayah.
Tahapan Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Dalam peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 3 Tahun 2014 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dijelaskan mengenai tahap pelaksanaan proyek kerjasama yang terdiri dari :
1. Perencanaan Proyek , meliputi kegiatan identifikasi dan pemilihan Proyek dan Penetapan Prioritas Proyek Kerjasama.
2. Penyiapan Proyek, meliputi kajian awal prastudi kelayakan (Outline Business Case) dan kajian kesiapan proyek kerjasama (Project Readness).
3. Transaksi Proyek, meliputi penyelesaian prastudi kelayakan, dan pelelangan umum badan usaha; dan
4. Manajemen Pelaksanaan Proyek yang meliputi perencanaan manajemen pelaksanaan perjanjian kerjasama dan implementasi manajemen pelaksanaan perjanjian kerjasama

A. Kepemimpinan Pemerintahan Daerah, Sasaran dan strategi kesejahteraan sosial
1). Pola Perilaku Kemimpinan Kepala Daerah
  dalam mencapai tujuannya,yakni menciptakan good governance, para pemimpin daerah harus mempunyai perilaku - perilaku kepemimpinan yang positif, seperti:
1. Menyebarkan Informasi ( informating )
Perilaku ini dalam menyebarkan informasi  yang relevan seperti keputusan dan rencana, memberi informasi teknis yang dibutuhkan bawahan dalam melakukan pekerjaannya, menginformasikan kepada bawahan tentang kemajuan yang dicapai organisasi secara keseluruhan. penyebaran informasi juga merupakan sarana organisasi dalam rangka pengembangan organisasi maupun untuk membina hubungan kerja antara anggota organisasi.
2. Konsultasi dan Delegasi ( Consulting and Delegating )
Perilaku ini merupakan tindakan pemimpin untuk membahas bersama pihak lain sebelum membuat keputusan, memberikan saran yang dapat mendorong kemajuan, memberikan kesempatan atau keleluasaan kepada bawahan untuk mengambil keputusan serta memberi kesempatan kepada bawahan untuk melaksanakan tanggungjawab atas pelaksanaan tugas pokok
3. Perilaku Perencanaan dan Pengorganisasian ( Planning and Organizing )
Perilaku ini merupakan tindakan pemimpin dalam wujud merumuskan tujuan dan strategi untuk dapat menyesuiakan dengan perubahan lingkungan, merumuskan bagaiamana mengalokasikan dan memanfaatkan sumber daya manusia dalam rangka mencapai tujuan , merumuskan bagaimana mengembangkan efesiensi dalam pelaksanaan kegiatan , dan bagaimana melakukan koordinasi yang baik dengan pihak lain.
4. Perilaku Pemecahan Masalah ( Problem Solving )
Merupakan tindakan pemimpin dalam mengidentifikasi masalah - masalah yang berhubungan dengan pekerjaan , menganalisis masalah secara sistematis dan terus menerus guna mengidentifikasi penyebab dan menemukan pemecahannya, konsekuen melaksanakan keputusan dan tegas dalam mengatasi masalah atau krisis yang dihadapi organisasi.
5. Perilaku Merumuskan Peranan dan Tujuan ( Clarifying )
Perilaku yang dalam wujud merumuskan tugas - tugas, menetapkan arah pekerjaan , memberi pengertian tentang tanggung jawab yang diemban sehubungan dengan jabatan, merumuskan tujuan yang akan dicapai, menentukan batas waktu penyelesaian tugas dan mengarahkan bawahan dalam penyelenggaraan tugas - tugas organisasi.
6. Perilaku Pemantauan ( Monitorng )
Sikap dan tindakan pemimpin guna memperoleh informasi tentang kegiatan kerja, melakukan pengecekan tentang kemajuan dan kualitas pekerjaan, evaluasi kinerja bawahan dan unit instansi di lingkungan organisasi dan melakukan pengamatan untuk mengetahui berbagai peluang dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas - tugas dan program organisasi.
7. Perilaku Motivasi
Sikap atau tindakan seorang pemimpin untuk mempengaruhi emosi bawahan dengan menggunakan nilai - nilai serta logika guna mendorong antusiasme atau semangat kerja pegawai, menumbuhkan komitmen terhadap tujuan dan tugas, bersedia melakukan kerja sama, memberi bantuan dan dukungan. Pemberian motivasi juga dimaksudkan untuk mempengaruhi emosi bawahan dan menumbuhkan komitmen terhadap tugas dan tujuan, serta mengembangakan hubungan kerja sama, yang diharapkan dapat meningkatkan semangat dan kegairahan bawahan dalam menjalankan tugasnya.
8.     Perilaku Pengakuan dan Penghargaan
     Perilaku atau sikap pemimpin untuk menyediakan hadiah, pengakuan dan penghargaan kepada bawahan yang kecakapannya baik, dan yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan pelaksanaan tugas - tugas di lingkungan organisasi.
9. Perilaku Dukungan ( Supporting )
Merupakan perilaku atau sikap dan tindakan pimpinan yang terungkap dalam bentuk sifat bersahabat , baik budi, suka membantu, selalu menunjukan dukungan dan simpati kepada bawahan dan melakukan sesuatu untuk mendorong bawahan agar skillnya meningkat dan kariernya berkembang. keberhasilan pencapaian tujuan organisasi antara lain dipengaruhi oleh adanya perilaku saling mendukung antara pemimpin terhadap bawahan, bawahan terhadap pimpinan, maup
un bawahan dengan bawahan.
10. Perilaku Mencegah Konflik dan Mengembangkan Kelompok ( Managing Conflict and Team Building )
      Perilaku atau sikap pemimpin untuk mendorong dan menyediakan fasilitas yang konstruktifdalam pemecahan masalah, dan mendorong atau mengembangkan kerjasama kelompok yang cocok dalam penyelenggaraan tugas - tugas atau program organisasi.
11. Perilaku Membuat Jaringan
Sikap seorang pimpinan dalam wujud membaur secara informal, membangun hubungan dengan orang yang memiliki sumber informasi dan dukungan, memantapkan hubungan dengan semua pihak yang terkait secara periodik melalui kunjungan, telepon, surat - menyurat dan kehadiran dalam rapat - rapat serta even- even sosial lainnya.
2.  Perilaku Kepala Daerah Yang Dapat Melaksanakan Good Governance
Secara teoritis good governance mengandung makna bahwa pengelolaan kekuasaan yang didasarkan pada aturan - aturan hukum yang berlaku, pengambilan kebijaksanaan secara transparan, serta pertanggungjawaban kepada masyarakat. kekuasaan juga didasarkan pada aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu. kekuasaan juga harus taat pada prinsip bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dimata hukum.
Kesejahteraan Sosial
Pembangunan kesejahteraan sosial yang telah dilaksanakan pada umumnya telah memberi kontribusi peran pemerintah dan masyarakat di dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang makin adil dan merata. Sasaran utama program pembangunan kesejahteraan sosial adalah manusia, maka perubahan-perubahan yang secara langsung terkait dengan sasaran program tersebut terutama permasalahan dan kebutuhannya,serta ukuran-ukuran taraf kesejahteraan sosialnya sangat berpengaruh terhadap arah,tujuan dan kegiatan-kegiatan program.
Permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan manusia tidak terlepas dari kondisi dan perubahan lingkungan baik fisik maupun non-fisik; dalam kawasan lokal, nasional dan global. Maka perencanaan yang lebih cermat perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek manusia, lingkungan fisik, sosial dan lingkungan strategisnya. Hal-hal ini akan mengkaitkan pembangunan kesejahteraan sosial dengan bidang pembangunan yang lain; ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan. Di dalam konteks inilah sesungguhnya posisi pembangunan kesejahteraan sosial dapat diperhitungkan sebagai bagian integral dan bagian strategis pembangunan nasional.
B. KEMITRAAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
Setelah strategi berbasis permintaan itu menjadi bagian inheren dari langkah dan kebijakan pengembangan ekonomi daerah, kini daerah otonom perlu melakukan langkah pemberdayaan kemitraan. Pemberdayaan kemitraan (partnership) tripartit pelaku ekonomi dan stakeholders: penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat madani adalah salah satu langkah aplikasi pendekatan berbasis permintaan yang tentu sangat kompatibel dengan peningkatan daya saing di daerah. Pemberdayaan kemitraan juga merupakan suatu katalisator pada sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) dan diharapkan lebih transparan dan akuntabel kepada masyarakat luas.
Selain basis atau keniscayan dari suatu perjalanan proses demokrasi, esensi dari aspek kemitraan ini adalah harmoni dari hubungan keteraturan antara tiga komponen utama di atas, dan kesetaraan para aktor dalam pengambilan keputusan bersama (shared-decision process) yang amat dibutuhkan untuk mengawal perjalanan agenda pemulihan ekonomi dan demokratisasi.  Dalam demokrasi yang mengakomodasi pertentangan dan perbedaan pendapatan, proses penyelesaian perbedaan tersebut perlu lebih santun dan beradab, jika perlu selesaikan di ruang rapat/meja perundingan tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tanggung jawab moral dan akuntabilitas publik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pelaku pembangunan di setiap negara demokrasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama: dunia usaha (business society), penyelenggara negara (political society), dan masyarakat madani (civil society).  Dunia usaha merujuk pada sektor swasta besar dan kecil yang seharusnya menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang paling utama.  Di Indonesia memang dikenal dengan berbagai bentuk dunia usaha atau sektor swasta (private sector) yang dilindungi dengan sekian macam perangkat undang-undang keperdataan, usaha kecil, dan perdagangan lainnya.  Mereka memiliki falsafah besar maksimisasi keuntungan (profit maximizer) untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mengembangan usaha, dan secara langsung dan tidak langsung berkontribusi pada pembangunan ekonomi.  Mereka umumnya dikritik karena sering kali merlupakan falsafah moralitas dan tanggung jawab sosial, sampai akhirnya berkembang suatu paradigma social corporate responsibility, karena visi keberlanjutan dan kesejahteraan jauh lebih penting dari hanya mengeruk keuntungan.
Penyelenggara negara (political society) merujuk kepada komponen eksekutif (pemerintah), legislatif (wakil rakyat) dan yudikatif (penegak hukum).  Bahkan ada yang mengatakan bahwa political society merujuk kepada dunia kepartaian (dan semua kepentingannya). Argumen ini pecaya bahwa partai adalah satu-satunya kendaraan yang dikenal untuk memperebutkan posisi di pemerintahan melalui pemilu. Kombinasi dan interaksi antara birokrasi dan dunia kepartaian amat menentukan posisi di pemerintahan dan proses perumusan kebijakan publik.  Mereka seharusnya memiliki falsafah membuat dan menegakkan aturan main, basis peraturan (rules of the game) dalam mengisi, mewarnai dan menyelenggarakan kepemerintahan dalam suatu negara.
Masyarakat madani (civil society) sebenarnya lauh lebih luas dari sekedar kelompok kepentingan masyarakat, karena berakar kata madaniah yang berarti menjunjung tinggi keteraturan dan keberadaban.  Di Indonesia, civil society sering merujuk pada lembaga swadaya masyarakat (LSM), bahkan sampai perguruan tinggi, lembaga pengembang LSM, asosiasi dan lain-lain.  LSM jelas bukan partai politik dan memang didirikan bukan untuk merebut kursi pemerintahan, baik di parlemen ataupun eksekutif.  Falsafah sebuah civil society seharusnya mampu memperjuangkan nilai-nilai yang dipercaya dan dianutnya, tanpa harus tergoda untuk berpikir sempit, parsial dan kekanakan. LSM idealnya dibangun untuk memengaruhi atau mengontrol jalannya pemerintahan melalui area di luar dunia kepartaian. Sebagai kelompok kepentingan, LSM semestinya berhubungan dengan dunia kepartaian dan dunia usaha.
Di dunia demokrasi yang sudah maju, ketiga komponen tripartit ini sangat mesra berhubungan. Misalnya di Amerika Serikat, pada era Presiden George W. Bush, para petinggi Partai Republik dikenal sangat dekat dengan industri dan sektor swasta besar, sampai-sampai sering dikaitkan dengan skandal akuntansi Enron, World Com, Merck, Arthur Andersen dan lain-lain. Partai Republik juga amat dekat dengan LSM yang bergerak dalam isu agama, sebagaimana sikap konservatifnya yang tidak setuju terhadap aborsi.  Sementara pada era Presiden Barack Obama sekarang ini, Partai Demokrat sangat dekat dan harmonis dengan civil society yang bergerak dalam isu perburuhan, lingkungan hidup, gender, dan multikulturalisme. Kebijakan Presiden Clinton yang masih dikenang orang adalah langkah affirmative action yang amat relevan untuk mengembangkan usaha kecil menengah (UKM), termasuk kelompok minoritas kulit hitam yang memperoleh naunangan cukup memadai untuk berkiprah dalam dunia usaha dan pendidikan.
C. PERSYARATAN DAN DASAR KEMITRAAN
Kemitraan Usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan, menguntungkan dan memperkuat.
Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra.
Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil.
Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka perlunya pemikiran tentang alasan terjadi kemitraan, analisa kemitraan, kendala umum kemitraan, syarat-syarat kemitraan.
1. Alasan terjadi Kemitraan
Kemitraan usaha haruslah berdasarkan asas sukarela dan suka sama suka. Dalam kemitraan harus dijauhkan “kawin paksa”. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir sebagai penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak bisa jalan. Artinya, harapan yang satu terhadap yang lain tidak terpenuhi, maka beberapa alasan terjadi kemitraan dikemukakan sebagai berikut:
a. Meningkatkan profit atau sales pihak-pihak yang bermitra
b. Memperbaiki pengetahuan situasi pasar
c. Memperoleh tambahan pelanggan atau para pemasok baru
d. Meningkatkan pengembangan produk
e. Memperbaiki proses produksi
f. Memperbaiki kualitas
g. Meningkatkan akses terhadap teknologi
2. Analisis Kemitraan
Kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi, saling percaya, dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama. Selama ini istilah kemitraan ini telah dikenal dengan sejumlah nama, diantaranya strategi kerjasama dengan pelanggan
(strategic customer alliance), strategi kerjasama dengan pemasok (strategic supplier alliance) dan pemanfaatan sumber daya kemitraan
(partnership sourcing). Bertolak dari ha tersebut maka dapat di analisis kinerja kemitraan sebagai berikut:
a. Kurang transparasi dalam pelaksanaan Kepres 16
b. Realisasi gelar kemitraan masih belum memuaskan
c. Kemitraan tidak berkembang baik
d. Waralaba dalam negeri belum banyak yang bermunculan.
3. Kendala umum Kemitraan
Kemitraan pada dasarnya menggabungkan aktivitas beberapa badan usaha bisnis, oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu organisasi yang memadai. Dengan pendekatan konsep sistem, diketahui bahwa organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah unit atau sub unit yang saling berinteraksi dan interdepedensi. Performansi dan satu unit dapat menyebabkan kerugian pada unit-unit lainnya. Tidak terlepas dari keterkaitan hal diatas maka akan mengalami beberapa kendala antara lain:
a. Perbedaan yang masih besar antara Usaha Besar dan Usaha Kecil
b. Kualitas produksi belum terjamin
c. Kerja sama kurang berkembang
d. UB bersifat integrai vertical
e. Belum terjadi alih teknologi dan manajemen dari UB dan UK
f. Belum berkembangnya system dan pola kemitraan dan belumberkembangnya unsur pendukung
Pada Negara maju, mereka melakukan kemitraan karena adanya tuntutan pasar, atas dasar tanggung jawab bersama, mengurangi pengangguran, tumbuhnya Usaha Menengah dan Usaha Kecil, dan dalam rangka meningkatkan daya saing nasionalnya.
Pola dan system kemitraan dikembangkan oleh suatu perusahaan hingga menjadi Good Practice. Lima jenis kemitraan yang dikembangkan di Eropa dan dapat ditiru:
a. Buying and selling yang meliputi kegiatan suppliers dan subcontracting
b. Positive restructuring yang meliputioutsourcing, spin offs, management by-outs, community renewal dan trade offs.
c. SME support yang meliputi start-up companies, mentoring, kerjasama penelitian dan pengembangan (R&D) dan bantuan ekspor.
d. Training dan education, misalnya untuk supplier dan magang serta recruitment calon pemitra
e. Local focus adalah kegiatan kemitraan dengan tujuan mengembangkan ekonomi wilayah.
Latihan manajemen dan ketrampilan, magang, studivisit dan alih teknologi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan dalam rangka memodernisasi UK. Jadi, agar kesenjangan manajemen dan teknologi antara UB dan UK tidak terlalu jauh ketinggalan, maka pengembangan SDM harus selalu menjadi agenda kemitraan.
 Syarat-syarat Kemitraan
Kemitraan usaha bukanlah penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil, melainkan menjamin kemandirian pihak-pihak yang bermitra, karena kemitraan bukanlah proses merger atau akuisisi. Kemitraan usaha yang kita inginkan bukanlah kemitraan yang bebas nilai, melainkan kemitraan yang tetap dilandasi oleh tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat, yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Adapun syarat-syarat kemitraan adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum yang sama
b. Kesetaraan
c. Saling menghargai
d. Saling memberi kontribusi
e. Ada efeksinergi
f. Saling menguntungkan

D. BENTUK BENTUK KEMITRAAN
Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Pola-Pola Kemitraan
Inti-Plasma
Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.
Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha menengah sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya dalam:
1. Penyediaan dan penyiapan lahan
2. Penyediaan sarana produksi
3. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi
4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan
5. Pembiayaan
6. Pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.
Subkontrak
Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
Dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan berupa:
1. Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen
2. Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar
3. Bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen
4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan
5. Pembiayaan
Dagang umum
Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.
Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang bersangkutan.
Waralaba
Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.
Keagenan
Hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.
Bentuk-bentuk lain
Pola bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana tertera di atas adalah pola kemitraan yang pada saat ini sudah berkembang, tetapi belum dibakukan, atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan datang.
Sebagai contoh, dalam pengembangan usaha kecil di sektor perikanan di Indonesia, terdapat beberapa pola atau bentuk kemitraan antara usaha kecil atau petani dengan pengusaha besar, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Pola kemitraan inti-plasma.
Pada pola ini umumnya merupakan hubungan antara petani, kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra berkewajiban memenuhi kebutuan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Pola ini dapat diterapkan dalam pengembangan Tambak Inti Rakyat.
2. Pola Kemitraan subkontrak.
Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari hasil produksinya. Pada pola ini ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu dan waktu. Pola ini sangat bermanfaat dalam transfer alih teknologi, modal, ketrampilan, dan produktifitas.
3. Pola Kemitraan dagang umum.
Pola ini merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Dalam pola ini pihak yang terlibat adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas tertentu. Penerapan pola banyak dijumpai pada kegiatan agribisnis hortikultura, dimana kelompok tani hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi kemudian bermitra dengan swalayan atau kelompok supermarket. Pihak kelompok tani berkewajiban memasok barang-barang dengan persyaratan dan kualitas produk yang telah disepakati bersama.
4. Pola kemitraan kerjasama operasional.
Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Umumnya kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Terkadang perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu,tembakau, sayuran dan pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan resiko.
BAB III
PENUTUP
Tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan fasilitas publik terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah akan sulit mengimbangi jika hanya menggunakan metode penyediaan secara tradisional karena akan terkendala dengan sumber pembiayaan, teknologi bahkan manajerial. Salah satu alternatif untuk mengatasi berbagai kendala tersebut adalah penyediaan fasilitas publik melalui kerangka kerja Public Private Partnership.
Konsep ini telah diterapkan di berbagai negara dan daerah dengan berbagai manfaat dan kekurangan yang ada di dalamnya. Bagi daerah, ini merupakan sebuah alternatif untuk mempercepat pembangunan infrastruktur wilayah dan optimalisasi pengelolaan aset/kekayaan daerah sekaligus potensi sumber pendapatan daerah. Komitmen pengambil kebijakan dan berbagai pertimbangan teknis akan sangat menentukan keberhasilan implementasinya di daerah.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

2 comments

Write comments
Lady Mia
AUTHOR
January 4, 2016 at 11:15 PM delete

Halo,

Nama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800.000.000 (800 JUTA ) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.

Reply
avatar
November 16, 2020 at 4:55 PM delete

Apakah Anda mengalami kesulitan keuangan atau Anda ingin memenuhi impian Anda dengan dana?
Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk melunasi tagihan Anda, Memulai atau mengembangkan bisnis Anda?
Apakah Anda mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman dari Pemberi Pinjaman atau Bank karena tingginya biaya / persyaratan pinjaman?
Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk alasan yang sah?
Kemudian khawatir kami datang untuk menawarkan pinjaman kepada pelamar yang tertarik baik lokal maupun luar negeri tidak peduli jenis kelamin atau lokasi tetapi usia harus 18 tahun ke atas.
Kembali kepada kami untuk negosiasi tentang jumlah yang Anda butuhkan akan menjadi keputusan yang bijaksana.
JENIS PINJAMAN KAMI
Pinjaman ini dibuat untuk membantu klien kami secara finansial, dengan tujuan mengurangi beban finansial. Untuk alasan apa pun, pelanggan dapat menemukan rencana pinjaman yang sesuai dari perusahaan kami yang memenuhi persyaratan keuangan.

Data pelamar:
1) Nama Lengkap:
2) Negara
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Pekerjaan:
6) Nomor telepon:
7) Posisi saat ini di tempat kerja:
8 Pendapatan bulanan:
9) Jumlah pinjaman yang dibutuhkan:
10) Jangka waktu pinjaman:
11) Apakah Anda pernah melamar sebelumnya:
12) Tanggal Lahir:
Hubungi perusahaan pinjaman Gloria S melalui email:
{gloriasloancompany@gmail.com} atau
Nomor WhatsApp: +1 (815) 427-9002
Nomor Perwakilan Indonesia: +6288286919466
Salam Hormat

Reply
avatar

like this yahh